Minggu, 06 Mei 2012

peran kolaborasi perawat dalam pelaksanaan farmakologi

Peran Kolaborasi Perawat dalam Pelaksanaan Farmakologi
Farmakologi dalam prospek pengorganisasian tindakan kolaboratif hendaknya terlebih dahulu dapat difahami pengertian farmakologi itu sendiri oleh seorang perawat.
Tujuan pengorganisasi farmakologi adalah agar dokter dan perawat dapat memiliki dan menggunakan obat secara rasional dengan memperhatikan kemanjuran dan keamanannya.
Perawat bertanggung jawab dalam pemberian obat – obatan yang aman . Perawat harus mengetahui semua komponen dari perintah pemberian obat dan mempertanyakan perintah tersebut jika tidak lengkap atau tidak jelas atau dosis yang diberikan di luar batas yang direkomendasikan . Secara hukum perawat bertanggung jawab jika mereka memberikan obat yang diresepkan dan dosisnya tidak benar atau obat tersebut merupakan kontraindikasi bagi status kesehatan klien . Sekali obat telah diberikan , perawat bertanggung jawab pada efek obat yang diduga bakal terjadi. Buku-buku referensi obat seperti , Daftar Obat Indonesia ( DOI ) ,  Physicians‘ Desk Reference (PDR), dan sumber daya manusia , seperti ahli farmasi , harus dimanfaatkan perawat  jika merasa tidak jelas mengenai reaksi terapeutik yang diharapkan , kontraindikasi , dosis , efek samping yang mungkin terjadi , atau reaksi yang merugikan dari pengobatan  ( Kee and Hayes, 1996 ).
Pemberian obat menjadi salah satu tugas kolaboratif perawat yang paling penting, karena :
a.    Perawat merupakan mata rantai terakhir dalam proses pemberian obat kepada pasien.
b.    Perawat bertanggung jawab bahwa obat sudah diberikan dan memastikan bahwa obat itu benar diminum oleh pasien.
c.    Perawat yang paling tahu tentang kebutuhan dan respon pasien terhadap pengobatan. Misalnya : pasien yang sukar menelan, muntah atau tidak dapat minum obat tertentu.
d.   Perawat hampir 24 jam waktunya disediakan untuk memenuhi kebutuhan pasien.
1.    PRINSIP-PRINSIP PEMBERIAN OBAT
Perawat harus terampil dan tepat saat memberikan obat, tidak sekedar memberikan pil untuk diminum (oral) atau injeksi obat melalui pembuluh darah (parenteral), namun juga mengobservasi respon klien terhadap pemberian obat tersebut. Pengetahuan tentang manfaat dan efek samping obat sangat penting dimiliki oleh perawat. Perawat memiliki peran yang utama dalam meningkatkan dan mempertahan kesehatan klien dengan mendorong klien untuk lebih proaktif jika membutuhkan pengobatan. Perawat berusaha membantu klien dalam membangun pengertian yang benar dan jelas tentang pengobatan, mengkonsultasikan setiap obat yang dipesankan dan turut serta bertanggungjawab dalam pengambilan keputusan tentang pengobatan bersama dengan tenaga kesehatan lain. Perawat dalam memberikan obat juga harus memperhatikan resep obat yang diberikan harus tepat, hitungan yang tepat pada dosis yang diberikan sesuai resep dan selalu menggunakan prinsip 12 benar, yaitu:
a.    Benar Klien
Klien yang benar dapat  dipastikan dengan memeriksa  identitas klien, dan meminta klien menyebutkan namanya sendiri. Beberapa klien akan menjawab dengan nama sembarang atau tidak berespon, maka gelang identifikasi harus diperiksa pada setiap klien pada setiap kali pengobatan. Pada keadan gelang identifikasi hilang, perawat harus memastikan identitas klien dan meminta klien menyebutkan namanya sendiri. Beberapa klien akan menjawab dengan nama sembarang atau tidak berespon, maka gelang identifikasi harus diperiksa pada setiap klien pada setiap kali pengobatan. Pada keadan gelang identifikasi hilang, perawat harus memastikan identitas klien sebelum setiap obat diberikan.
Dalam keadaan dimana klien tidak memakai gelang identifikasi (sekolah, kesehatan kerja, atau klinik berobat jalan), perawat juga bertanggung jawab untuk secara tepat mengidentifikasi setiap orang pada saat memberikan pengobatan.
b.    Benar Obat
·      Klien dapat menerima obat yang telah diresepkan oleh seorang dokter, dokter gigi, atau pemberi asuhan kesehatan yang memiliki izin praktik dengan wewenang dari pemerintah. Perintah melalui telepon untuk pengobatan harus ditandatangani oleh dokter yang Perintah pengobatan mungkin diresepkan menelepon dalam waktu 24 jam. Komponen dari perintah pengobatan adalah : (1) tanggal dan saat perintah ditulis, (2) nama obat, (3) dosis obat, (4) rute pemberian, (5) frekuensi pemberian, dan (6) tanda tangan  dokter atau pemberi asuhan kesehatan. Meskipun merupakan tanggung jawab perawat untuk mengikuti perintah yang tepat, tetapi jika salah satu komponen tidak ada atau perintah pengobatan tidak lengkap, maka obat tidak boleh diberikan dan harus segera menghubungi dokter tersebut untuk mengklarifikasinya ( Kee and Hayes, 1996 ).
·      Perawat bertanggungjawab untuk mengikuti perintah yang tepat
·      Perawat harus menghindari kesalahan yaitu dengan membaca label obat minimal 3x:
ü Pada saat melihat botol atau kemasan obat
ü Sebelum menuang atau mengisap obat
ü Setelah menuang atau mengisap obat
·      Memeriksa apakah perintah pengobatan lengkap dan sah
·      Mengetahui alasan mengapa klien menerima obat tersebut
·      Memberikan obat-obatan tanda: nama obat, tanggal kadaluarsa
c.Benar Dosis Obat
·      Dosis yang diberikan klien sesuai dengan kondisi klien.
·      Dosis yang diberikan dalam batas yang direkomendasikan untuk obat yang bersangkutan.
·      Perawat harus teliti dalam menghitung secara akurat jumlah dosis yang akan diberikan, dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: tersedianya obat dan dosis obat yang diresepkan atau diminta, pertimbangan berat badan klien (mg/KgBB/hari), jika ragu-ragu dosis obat harus dihitung kembali dan diperiksa oleh perawat lain.
·      Melihat batas yang direkomendasikan bagi dosis obat tertentu.
d.   Benar Waktu Pemberian
·      Pemberian obat harus sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
·      Waktu yang benar adalah saat dimana obat yang diresepkan harus diberikan. Dosis obat harian diberikan pada waktu tertentu dalam  sehari, seperti b.i.d ( dua kali sehari ), t.i.d ( tiga kali sehari ), q.i.d ( empat kali sehari ), atau q6h ( setiap 6 jam ), sehingga kadar obat dalam plasma dapat dipertahankan. Obat-obat dengan waktu paruh pendek diberikan beberapa kali sehari pada selang waktu yang tertentu.
·      Pemberian obat harus sesuai dengan waktu paruh obat (t1/2). Obat yang mempunyai waktu paruh panjang diberikan sekali sehari, dan unutk obat yang memiliki waktu paruh pendek diberikan beberapa kali sehari pada selang waktu tertentu.
·      Pemberian obat juga memperhatikan diberikan sebelum atau sesudah makan atau bersama makanan.
·      Memberikan obat seperti kalium dan aspirin yang dapat mengiritasi mukosa lambung bersama-sama dengan makanan.
·      Menjadi tanggung jawab perawat untuk memeriksa apakah klien telah dijadwalkan untuk memeriksa diagnostik, seperti tes darah puasa yang merupakan kontraindikasi pemeriksaan obat.
e.Benar Cara Pemberian
·      Memperhatikan proses absorbsi obat dalam tubuh harus tepat dan memadai.
·      Memperhatikan kemampuan klien dalam menelan sebelum memberikan obat-obat peroral.
·      Menggunakan teknik aseptic sewaktu memberikan obat melalui rute parenteral.
·      Memberikan obat pada tempat yang sesuai dan tetap bersama dengan klien sampai obat oral telah ditelan.
f.     Benar Dokumentasi
Pemberian obat sesuai dengan standar prosedur yang berlaku di rumah sakit. Dan selalu mencatat informasi yang sesuai mengenai obat yang telah diberikan serta respon klien terhadap pengobatan.
g.    Benar Pendidikan Kesehatan Perihal Medikasi Klien
Perawat mempunyai tanggung jawab dalam melakukan pendidikan kesehatan pada pasien, keluarga, dan masyarakat luas terutama yang berkaitan dengan obat seperti manfaat obat secara umum, penggunaan obat yang baik dan benar, alasan terapi obat dan kesehatan yang menyeluruh, hasil yang diharapkan setelah pemberian obat, efek samping dan reaksi yang merugikan dari obat, interaksi obat dengan obat dan obat dengan makanan, perubahan-perubahan yang diperlukan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari selama sakit dan sebagainya.
h.    Benar Hak Klien untuk Menolak
Klien berhak untuk menolak dalam pemberian obat. Perawat harus memberikan inform consent dalam pemberian obat.
·      Hak Klien Mengetahui Alasan Pemberian Obat
Hak ini adalah prinsip dari memberikan persetujuan setelah mendapatkan informasi ( Informed concent ) , yang berdasarkan pengetahuan individu yang diperlukan untuk membuat suatu keputusan.
·      Hak Klien untuk Menolak Pengobatan
Klien dapat menolak untuk pemberian suatu pengobatan . Adalah tanggung jawab perawat untuk menentukan , jika memungkinkan , alasan penolakan dan mengambil langkah – langkah yang perlu untuk mengusahakan agar klien mau menerima pengobatan . Jika suatu pengobatan dtolak , penolakan ini harus segera didokumentasikan. Perawat yang bertanggung jawab, perawat primer, atau dokter harus diberitahu jika  pembatalan pemberian obat ini dapat membahayakan klien, seperti dalam pemberian insulin. Tindak lanjut  juga diperlukan jika terjadi perubahan pada hasil pemeriksaan laboratorium , misalnya pada pemberian insulin atau warfarin (  Taylor, Lillis and LeMone, 1993 ; Kee and Hayes, 1996 ).
i.      Benar Pengkajian
Perawat selalu memeriksa ttv sebelum pemberian obat.
j.      Benar Evaluasi
Perawat selalu melihat atau memantau efek kerja dari obat setelah pemberiannya.
k.    Benar Reaksi terhadap Makanan
Obat memliki efektivitas jika diberikan pada waktu yang tepat. Jika obat itu harus diminum sebelum makan (ante cimum atau a.c) untuk memperoleh kadar yang diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan misalnya tetrasiklin dan sebaiknya ada obat yang harus diminum setelah makan misalnya indometasin.
l.      Benar Reaksi dengan Obat Lain
Pada penggunaan obat seperti chloramphenicol diberikan dengan omeprazol penggunaan pada penyakit kronis.
2.    IMPLIKASI KEPERAWATAN DALAM FARMAKOLOGI
Implikasi keperawatan dalam farmakologi mencakup hal-hal yang berkaitan dengan proses keperawatan antara lain pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Beberapa hal yang perlu dikaji dalam pengelolaan farmakologi :
a.    Keadaan pasien/identifikasi pasien
·      Usia  : Bayi, Anak-anak , Dewasa Dan Lansia
·      Reaksi : Bagaimana Reaksi pasein setelah minum obat.
·      Pola kebiasaan  : Kebiasaan pasien pada waktu minum obat, misalnya dengan memakai air minum, pisang dan lain-lain.
·      Persepsi pasien tentang obat : khasiat obat, sugesti terhadap obat.
b.    Keadaan obat / identifikasi obat
·      Dosis obat sesuai umur pasien
·      Bentuk obat apakah padat , cair suspensi
·      Pengunaan obat : oral, sub-lingual, ditelan atau dikunyah.
c.    Efek samping obat (side effect)
d.   Etiket
·      Obat luar atau obat dalam (obat dalam diberi etiket putih, obat luar diberi ektiket biru).
·      Tanggal/bulan/tahun kadaluarsa obat.
·      Jenis obat (sedative, antihistamine, antibiotic, deuresis dll.
e.     Keadaan pasien
Hal yang perlu dikaji adalah apakah pasien sedang menjalani terapi khusus :
·      Penderita TBC Aktif
·      Penderita Kusta Aktif
·      Penderita Epilepsi
·      Penderita Malnutrisi
f.     Ada tidaknya riwayat alergi obat
Bila mana ada pasien yang tidak tahan akan jenis obat tertentu maka harus ditulis dengan jelas pada status pasien dengan tinta merah, agar dokter dapat memilih obat lain yang lebih aman.
3.    HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PELAKSANAAN KOLABORASI PEMBERIAN OBAT
a.    Perawat yang membagi obat harus bekerja dengan penuh konsentrasi dan tenang.
b.    Setelah mengecek perintah pengobatan, bacalah tabel tiga kali ketika mempersiapkan obat :
·      Saat mengambil obat
·      Saat membuka/menuang atau mencampur
·      Saat mengembalikan.
c.    Obat yang sudah lama, lebih-lebih yang sudah hilang etiketnya atau tidak jelas jangan dipakai.
d.   Cara pemberian obat harus memperhatikan prinsip 12 benar
e.    Perhatikan pasien waktu minum obat, jangan meninggalkan obat diatas meja.
f.     Jangan sekali-kali memberikan obat-obatan yang telah disiapkan orang lain, kecuali jelas ditugaskan kepada kita.
g.    Perhatikan reaksi pasien setelah minum obat.
h.    Mencatat atau membubuhkan paraf pada waktu atau pada status pasien setelah memberikan obat.
i.      Obat-obatan harus disimpan sesuai dengan syarat-syarat penyimpanan masing-masing obat, misalnya : Lemari es, tempat yang sejuk, gelap dan lain-lain.
j.      Obat-obat yang dibeli sendiri oleh pasien harus disimpan dalam lemari obat pada tempat khusus, dengan etiket nama yang jelas.
k.    Menuangkan obat-obatan cair, jangan pada sisi yang ada etiketnya dan sejajar dengan mata.
l.      Setiap kali selesai mengambil obat, tempat obat ditutup kembali.
m.  Bila terjadi kesalahan dalam memberikan obat harus segera dilaporkan kepada yang bertanggung jawab.
n.    Usahakan agar tangan selalu bersih, ketika akan memberikan obat-obatan.
            Peran dan Tanggung jawab perawat sehubungan dengan pemberian obat:
a.       Perawat harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang memadai mengenai obat.
b.      Mendukung keefektivitasan obat.
c.       Mengobservasi efek samping dan alergi obat
d.      Menyimpan, menyiapkan dan administrasi obat
e.       Melakukan pendidikan kesehatan tentang obat
f.       Perawatan, pemeliharaan dan pemberian banyak obat-obatan merupakan tanggung jawab besar bagi perawat.
Kesalahan dapat terjadi pada instruksi, pembagian, penamaan dan pengintrepretasian instruksi sesuai dengan penatalaksanaan obat. Obat harus tidak diberikan perawat tanpa membawa resep tertulis kecuali pada saat kegawatan. Tanggung jawab ini hanya bisa dilimpahkan dengan persetujuan dari petugas yang memiliki wewenang.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, jelaslah bahwa pemberian obat pada klien merupakan fungsi dasar keperawatan yang membutuhkan ketrampilan teknik dan pertimbangan terhadap perkembangan klien. Perawat yang memberikan obat-obatan pada klien diharapkan mempunyai pengetahuan dasar mengenai obat dan prinsip-prinsip dalam pemberian obat.
Daftar Pustaka

Minggu, 15 April 2012

birokrasi

Birokrasi merupakan wujud terbaik organisasi karena menyediakan konsistensi, kesinambungan, kemungkinan meramalkan, stabilitas, sifat kewaspadaan, kinerja efisien dari tugas-tugas, hak keadilan, rationalsm, dan profesionalisme. Ikhtisar singkat dari keuntungan-keuntungan birokrasi pemerintah adalah: (1) efisien; (2) ideal cocok untuk memperkecil pengaruh dari politik dan pribadi di dalam keputusan-keputusan organisatoris; atau (3) wujud terbaik organisasi karena membiarkan memilih pejabat-pejabat (dan yang lain) untuk mengidentifikasi dan mengendalikan yang bertanggung jawab untuk siapa atas apa yang dilakukan?
Namun, Birokrasi Weberian yang diharapkan akan menghasilkan hal-hal yang telah tersebut di atas, ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, anti àterhadap kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum  karena orientasi lebih pada melayani pemerintah, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen politis dengan sifat sangat otoritatif dan represif. Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan yang absolut berkorupsi secara absolut pula). Walaupun disini penulis memiliki pendapat bahwa korupsi bukan hanya adanya absolutisme kekuasaan namun karena adanya dekadensi moral para birokrat (para birokrat merasa harus mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan pada saat pemilu dengan berbagai macam cara), namun sependapat dengan pendapat Acton bahwa absolutism dapat menjadikan kesempatan korupsi itu lebih mudah. Hal ini tentu karena lemahnya bahkan tidak adanya kontol dari luar. Tanpa akuntabilitas, korupsi ‘berjamaah’ para birokrat sulit sekali diungkap.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan sebagian kecil dari Patologi Birokrasi. Patologi Birokrasi yang terjadi di dunia merupakan proses alami dari rutinitas birokrasi itu sendiri. Patologi Birokrasi sendiri akan menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan. Inefisiensi ini yang menyebabkan krisis multidimensional (baik segi ekonomi, politik, sosial budaya, dan krisis moral).
Lalu bagaimana patologi birokrasi itu dapat diobati? Dibawah ini penulis mengajak pembaca untuk memahami patologi birokrasi. Apa itu patologi birokrasi? Dimanakah yang sangat mungkin terjadi patologi Birokrasi? Dan bagaimana cara mengatasinya? Akan penulis uraikan dalam wacana dibawah ini.
PATOLOGI BIROKRASI
Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari patologi birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti “sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.”
Red Tape merupakan awal kemunculan dari sebuah Patologi ini. Red Tape disebabkan adanya kecenderungan alami yang terjadi di dalam tubuh dan para birokrat yang tercetak dari rutinitas kegiatan mereka sendiri. Birokrasi yang semestinya lebih memper-efisien-kan proses malah semakin berbelit-belit karena para birokrat terlalu “patuh” pada prosedur yang ada. Jenis dari Patologi Birokrasi selain Red Tape yaitu Korupsi, Kolusi, Nepotisme, tidak adanya akuntabilitas, pertanggung jawaban formal, dan lain sebagainya.
Negara Berkembang Lebih Mudah Terinfeksi
Negara berkembang bisa dikatakan sebagai pusat dari Patologi Birokrasi. Negara-negara berkembang menghadapi ancaman patologi birokrasi, yaitu birokrasi yang cenderung mengutamakan kepentingan sendiri, terpusat, dan mempertahankan status quo. Patologi birokrasi juga menyebabkan birokrasi menggunakan kewenangannya yang besar untuk kepentingan sendiri.
Ciri dari birokrasi negara berkembang yaitu: Pertama, administrasi publiknya bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya serta paternalistik. Kedua, birokrasinya kekurangan sumber daya manusia (dalam hal kualitas) untuk menyelenggarakan pembangunan dan over dalam segi kuantitas. Ketiga, birokrasi di negara berkembang lebih berorientasi kepada kemanfaatan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat. Keempat, ditandai adanya formalisme. Yakni, gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Kelima, birokrasi di negara berkembang acapkali bersifat otonom. Artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis.
Dari sifat inilah, lahir nepotisme, penyalahgunaan wewenang, korupsi dan berbagai penyakit birokrasi yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah.
GEJALA PATOLOGI DALAM BIROKRASI
Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam birokrasi, menurut Sondang P. Siagian, bersumber pada lima masalah pokok. Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme. Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif. Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih.
ATASI PATOLOGI BIROKRASI !!!
Ada penyakit ada pula obatnya. Untuk mengatasi Patologi Birokrasi, seyogyanya seluruh lapisan masyarakat saling bahu-membahu bekerjasama untuk melaksanakan proses pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Solusi dari Patologi Birokrasi tidak akan menjadi obat yang mujarab jika seluruh lapisan masyarakat tidak saling mendukung. Karena setiap element baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan pihak swasta memiliki keterkaitan yang sangat pokok dalam berjalannya pemerintahan.
Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu: Yang pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan.
Yang kedua pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara (1) kepemimpinan yang adil dan kuat (2) alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik (3) adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi.
Yang ketiga ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat.


















I.1 Birokrasi
a. Birokrasi ideal Max Weber
Birokrasi ialah alat kekuasaan bagi yang menguasainya, dimana para pejabatnya secara bersama-sama berkepentingan dalam kontinuitasnya[1]. Weber memandang birokrasi sebagai arti umum, luas, serta merupakan tipe birokrasi yang rasional. Weber berpendapat bahwa tidak mungkin kita memahami setiap gejala kehidupan yang ada secara keseluruhan, sebab yang mampu kita lakukan hanyalah memahami sebagian dari gejala tersebut. Satu hal yang penting ialah memahami mengapa birokrasi itu bisa diterapkan dalam kondisi organisasi negara tertentu. Dengan demikian tipe ideal memberikan penjelasan kepada kita bahwa kita mengabstraksikan aspek-aspek yang amat penting yang membedakan antara kondisi organisasi tertentu dengan lainnya[2].
Menurut weber, proses semacam ini bukan menunjukkan objektivitas dari esensi birokrasi, dan bukan pula mampu menghasilkan suatu deskripsi yang benar dari konsep birokrasi secara keseluruhan, tetapi hanya sebagai suatu konstruksi yang bisa menjawab suatu masalah tertentu pada kondisi waktu dan tempat tertentu. Menurut weber tpe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dalam cara-cara sebagai berikut[3] :
  1. Pejabat secara rasional bebas, tetapi dibatasi oleh jabatannya
  2. Jabatan disusun oleh tingkat hierarki dari atas ke bawah dan kesamping dengan konsekuensinya berupa perbedaan kekuasaan.
  3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lain
  4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan.
  5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya
  6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun.
  7. Terdapat struktur pengembangan karieryang jelas
  8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya untuk kepentingan pribadi
  9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin. (Weber, 1978 dan Albrow, 1970)
Dalam pemerintahan, kekuasaan publik dijalankan oleh pejabat pemerintah/para birokrat yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan peranan dan fungsinya dalam sistem birokrasi negara dan harus mampu mengendalikan orang-orang yang dipimpin[4]. Birokrasi dalam ha ini mempunyai tiga arti, yaitu :
  1. Sebagai Tipe organisasi yang khas.
  2. Sebagai suatu sistem (struktur).
  3. Sebagai suau tatanan jiwa tertentu dan alat kerja pada organ negara untuk mencapai tujuannya[5].
b. Birokrasi dan Fungsi Pelayanan
Dalam negara administratif, pemerintah dan seluruh jajarannya dikenal sebagai abdi masyarakat dalam pemberian berbagai jenis pelayanan yang diperlukan oleh seluruh warga masyarakat. Keseluruhan jajaran pemerintahan negara merupakan satuan birokrasi pemerintahan yang juga dikenal dengan istilah civil service. Pemerintah beserta seluruh jajaran aparatur birokrasi bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan pembangunan nasional, tetapi merupakan kenyataan bahwa peranan pemerintah dan jajarannya bersifat dominan.
Diantaranya berbagai satuan kerja yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan, terdapat pembagian tugas yang pada umumnya didasarkan pada prinsip fungsionalisasi[6]. Fungsionalisasi berarti bahwa setiap instansi pemerintah berperan selaku penanggung jawab utama atas terselenggaranya fungsi tertentu, dan perlu bekerja secara terkoordinasi dengan instansi lain. Setiap instansi pemerintah mempunyai “kelompok pelanggan” dimana kepuasan kelompok ini harus dijamin oleh birokrasi pemerintahan, antara lain kelompok masyarakat yang memerlukan pelayanan di bidang pendidikan dan pengajaran dilayani oleh instansi yang secara funsional menangani bidan pendidikan dan pengajaran, dan sebagainya.
c. Birokrasi dan Fungsi pengaturan
Fungsi pengaturan terselenggara dengan efektif  karena kepada suatu pemerintahan negara diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang ditentukan oleh lembaga legislatif melalui berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijaksanaan. Pada dasarnya seringkali aparatur pemerintah bekerja berdasarkan pendekatan legalistik[7].
Pendekatan tersebut antara lain bahwa dalam menghadapi permasalahan, pemecahan yang dilakukan dengan mengeluarkan ketentuan normatif dan formal, misalnya peraturan dan berbagaiperaturan pelaksanaannya.
Menurut Peter Al Blau dan Charles H.Page dalam Bintoro, birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe organisasi yang bertujuan mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengoordinasikan secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang
I.2 Patologi birokrasi
Berbagai perkiraan mengenai masa depan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memberikan petunjuk bahwa tantangan yang akan dihadapi oleh Birokrasi Pemerintah di masa depan akan semakin besar, baik dalam bentuk dan jenisnya, maupun intensitasnya[8].
Mengenai penanganan patologi birokrasi dan terapinya, berarti agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang sifatnya politis, ekonomis, sosio-kultural, dan teknologikal[9]. Berbagai penyimpangan yang dilakukan para birokratperlu diidentifikasikan untuk dicari terapi yang paling efektif, sehingga patologi demokrasi dapat dikategorikan dalam kelompok-kelompok tertentu.
Bab II
Birokrasi pemerintahan dan Perilaku Birokrasi di Indonesia
II.1 Masa Lalu
Kondisi birokrasi pemerintahan Indonesia di era orde baru merupakan perpaduan antara karakteristik birokrasi modern yang legal-rasional dengan karakteristik birokrasi yang berakar dalam sejarah seperti terdapatnya posisi seseorang yang tidak sesuai dengan keahliannya. Birokrasi Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dari faktor historis tersebut disebut sebagai “Birokrasi Patrimonial” sebagai warisan budaya masa lampau[10]
Priyo budi santoso menyebut model teoritis untuk memahami karakteristik politik dan birokrasi Indonesia khususnya pada masa Orde Baru guna melengkapi konsep birokrasi patrimonial tersebut yang disebut dengan model bureaucratic-polity (politik birokrasi). Karl D Jackson menjelaskan sebagai berikut :
Politik birokrasi adalah suatu sistem politik di mana kekuasaan dan partisipasi politik dalam pengambilan keputusan terbatas sepenuhnya pada para penguasa negara, terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi, termasuk khususnya para ahli berpendidikan tinggi yag terkenal sebagai teknokrat, dalam hal ini militer dan birokrasi tidak bertanggung jawab kepada kekuatan-kekuatan politik lain seperti partai-partai politik, kelompok-kelpompok kepentingan, atau organisasi kemasyarakatan. Berbagai tindakan didesain untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah yang berasal dari dalam elit itu sendiri tanpa banyak memerlukan partisipasi atau mobilisasi massa. Kekuasaan tidak dilibatkan oleh artikulasi kepentingan sosial dan geografi di sekitar masyarakat[11].
Secara lebih sempit, Harold crouch mencatat bahwa bureaucratic-polity di Indonesia mengandung tiga ciri utama, yaitu lembaga politik yang dominan adalah birokrasi, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi, serta massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan parpol dan secara timbal balik menguatkan birokrasi.
II.2 Masa Kini
Seymour Martin Lipset dalam Miftah Thoha, mengatakan bahwa komponen pembangunan ekonomi salah satunya adalah industrialisasi. Semula masyarakatnya bersifat agraris serta serba manual dan kemudian pelan-pelan atau cepat akan mengarah ke tatanan masyarakat yang industrialis[12]. Salah satu ciri yang menonjol adalah gerak yang dinamis yang mempengaruhi struktur dan mekanisme kerja birokrasi di Indonesia yang disertai oleh sikap kritis masyarakat sebagai akibat meningkatnya tingkat pendidikan.
Menurut Miftah Thoha, gerak dinamis dan sikap kritis tersebut mempengaruhi kualitas hidup suatu bangsa. Masyarakat akan menuntut demokratisasi di segala bidang termasuk pelayanan dan sistem birokrasi pemerintah dimana kejahatan konvensional yang sangat mengganggu ekonomi nasional adalah korupsi. Menurut Afan Gafar, kebijakan publik di Indonesia mewajibkan rakyat untuk ikut terlibat didalamnya, sehingga masyarakat dapat mengeluh hingga berbuat anarkis, minimal dengan cara demonstrasi di jalan.
II.3 Masa Depan
Model birokrasi yang ideal bukan bertumpu pada kultur semata, tetapi juga bertumpu pada profesionalisme birokrasi terutama aparat birokrasinya. Profesionalisme birokrasi ini terfokus pada adanya perjenjangan struktur secara tertib dengan pendelegasian wewenang , posisi jabatan dengan tugas-tugas, dan aturan-aturan yang jelas, serta tersedianya personel yang memiliki kecakapan dan kredibilitas yang memadai dalam bidang tugasnya.
Menurut Akhmad Setiawan, birokrasi di Indonesia tergolong birokrasi yang tidak bebas berpolitik[13]. Hal ini tercermin dalam birokrasi yang sulit untuk tidak terlibat politik sementara ciri patrimonial masih melekat. Hal inilah yang menjadikan keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan menjadi lebih terlihat.
Birokrasi pemerintahan yang ideal tercipta ketika karakter birokrasi ideal terpenuhi, yaitu birokrasi yang terstruktur baik, tidak adanya jabatan yang inefisien, aturan yang jelas, personel yang cakap, birokrasi yang apolitis, dan berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Bab III
Masalah Birokrasi
Pemerintahan sebagai pilar utama penyelenggara negara semakin dihadapkan pada kompleksitas global, sehingga perannya harus mampu dan cermat serta proaktif mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi tersebut sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus dan penentu daya kebijakan, serta sebagai pelaksana dari segala peraturan. Sementara itu, kondisi objektif dari iklim kerja aparatur selama ini masih dipengaruhi oleh teori atau model birokrasi klasik yang diperkenalkan oleh Taylor, Wilson, Weber, Gullick, dan Urwick, yaitu (i) struktur, (ii) hierarki, (iii) otoritas, (iv) dikotomi kebijakan administrasi rantai pemerintah, dan (v) sentralisasi[14]. Meskipun model tersebut memaksimumkan nilai efisiensi dan efektifitas ekonomi, namun pada kenyataannya teori tersebut tidak dapat memberikan jawaban secara faktual sesuai dengan banyak temuan penelitian di berbagai tempat.
Teori birokrasi tersebut telah menimbulkan berbagai implikasi negatif yang sangat  terkait dengan gejala[15] sebagai berikut:
  1. Smith, menyebutkan Inmobilism-inability to function, adalah kenyataan yang terkait dengan adanya hambatan dan ketidakmampuan menjalankan fungsi secara efektif.
  2. E. bardock, mengemukakan gejala kelemahan adalah tekonisme, yaitu kecenderungan sikap administratoryang menyatakan mendukung suatu kebijaksanaan dari atas secara terbuka tetapi sebenarnya hanya melakukan sedikit sekali partisipasi dalam pelaksanaannya. Partisipasi yang sangat kecil tersebut dapat pula berbentuk procrastination, yaitu bentuk partisipasi dengan penurunan mutu atau kualitas pelayanan.
  3. kelemahan lain adalah koordinasi yang dapat menimbulkan kelebihan (surpluses) maupun kekurangan (shortages)
  4. Kelemahan lain adalah kebocoran dalam kewenangan (linkage of authority), yaitu kebijaksanaan pimpinan ditafsirkan dan diteruskan oleh pembantu pimpinan secara berlainan dalam arus perintah pada bawahan sesuai dengan pertimbangannya sendiri.
  5. Selain itu terdapat juga gejala resistance,baik secara terang-terangan maupun tersembunyi oleh aparat dalam menjalankan tugas-tugas kedinasan
Birokrasi harus dihindarkan dari rancangan pihak-pihak yang tidak menghiraukan kepentingan publik untuk menjadikannya sebagai power center karena dapat mengancam potensi masyarakat.
Dalam hal patologi demokrasi dapat dikategorikan dalam lima kelompok, yaitu :
  1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi, contohnya :
    1. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan
    2. Penguburan masalah
    3. Menerima sogok atau suap
    4. Pertentangan kepentingan
    5. kecenderungan mempertahankan status quo / ketakutan pada perubahan
    6. Arogansi dan intimidasi
    7. Kredibilitas relatif rendah / nepotisme
    8. Paranoia dan otoriter astigmatisme
    9. Patologi yang disebabkan karna kurang / rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. Artinya, rendahnya produktivitas kerja dan mutu pelayanan tidak semata-mata disebabkan oleh tindakan dan perilakuyang disfungsional, tetapi juga karena tingkat pengetahuan dan keteramplan yang tidak sesuai dengan tuntutan tugas yang diemban.
    10. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang digolongkan dalam melanggar tindakan hukum, antara lain :
  1. Menerima sogok / suap
  2. Korupsi, dan
  3. Tata buku yang tidak benar
  4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional / negative, yaitu bertindak sewenang-wenang dan melalaikan tugas.
  5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan.
Pemahaman patologi birokrasi secara tepat memerlukan analisis mendalam mengenai konfigurasi birokrasi tersebut yang akan terlihat dalam berbagai situasi internal yang dapat berakibat negatif terhadap birokrasi yang bersangkutan, antara lain :
  1. penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat
  2. eksploitasi
  3. tidak tanggap
  4. motivasi yang tidak tepat
  5. kekuasaan kepemimpinan
  6. beban kerja yang terlalu berat
  7. perubahan sikap yang mendadak.
Bab IV
Upaya Penanggulangan Patologi Demokrasi
IV. 1 Paradigma Birokrasi yang Ideal.
  1. Kelembagaan
Birokrasi pemerintahan merupakan organisasi yang paling besar di setiap negara yang ditentukan oleh berbagai faktor, seperti komplekksitas fungsi yang harus diselenggarakan, besarnya tenaga kerja yang digunakan, besarnya anggaran yang dikelola, beraneka ragamnya sarana dan prasarana yang dikasai serta dimanfaatkan, serta luasnya wilayah kerja yang meliputi seluruh wilayah kekuasaan negara yang bersangkutan, sehingga birokrasi pemerintahan perlu selalu berusahaagar seluruh organisasi birokrasi itu dikelola berdasarkan prinsip-prinsip organisasi.
  1. Manajemen Sumber Daya Manusia
Adapun langkah-langkah yang dapat diambil, terdiri dari perencanaan, rekruitmen, seleksi, penembapatan sementara, penempatan tetap, penentuan sistem imbalan, perencanaan dan pembinaan karier, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, pemutusan hubungan kerja, pensiunan, dan audit kepegawaian.
  1. Pengembangan Sistem Kerja
Pengembangan sistem kerja harus diarahkan pada hilangnya persepsi negatif mengenai birokrasi[16]. Pengembangan sistem kerja harus didsarkanpada pendekatan kesisteman yang berarti bahwa struktur apapun yang digunakan, semuanya harus tetapterwujud dalam kesatuan gerak dan langkah. Artinya, seluruh birokrasi bergerak sebagai satu kesatuan yang dapat diwujudkan apabila pengembangan sistem kerja birokrasi dapat ditujukan pada seluruh langkah yang ditempuh dalam proses administrasi negara.
  1. Pengembangan citra birokrasi yang positif[17].
Citra birokrasi umumnya bersifat negatif, sehingga nilai-nilai loyalitas, kejujuran, semangat pengabdian, disiplin kerja, mendahulukan kepentingan bangsa diatas kepentingan sendiri, tidak memperhitungkan untung rugi dalam pelaksanaan tugas, kesediaan berkorban, dan dedikasi, harus selalu ditekankan untuk dijunjung tinggi.
Beberapa cara yang dapat menghilangkan citra negatif, yaitu :
  1. Mendorong proses demokrasi dalam masyarakat, antara lain dalam bentuk peningkatan pengawasan sosial agar penyimpangan oleh para anggota birokrasi semakin berkurang.
  2. Mengurangi campur tangan birokrasi dalam berbagai kegiatan-kegiatan dalam masyarakat yang semakin maju, merupakan porsi masyarakat untuk menyelenggarakannya.
  3. Menggunakan setiap kesempatan untuk menumbuhkan persepsi mengenai pentingnya orientasi pelayanan, bukan orientasi kekuasaan, dalam berpikir dan bertindak.
  4. Mengharuskan para pejabat tinggi membuat pernyataan mengenai kekayaan pada waktu mulai menjabat.
IV.2. Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan yang Bersih, Kuat, dan Berwibawa
Selama kedudukan dominan berada di tangan birokrat, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya kolusi atau penyalahgunaan wewenang untuk setiap urusan / keperluan. Birokrasi pemerintahan yang semakin kuat dan menentukan cenderung melakukan penyalahgunaan jabatan, wewenang, dan kekuasaan. Selama kekuasaan legislatif dan judikatif berada dibawah penguasa sebab peran kepela eksekutif sangat mempengaruhi kedudukan, jabatan, dan posisi di kedua lembaga tersebut. Lembaga legislatif tidak dapat melakukan fungsi pengawasan secara efektif karena eksekutif lebih kuat daripada legislatif sedangkan lembaga judikatif tidak kuat dan tidak independen karena adanya campur tangan dari kepala eksekutif[18]. Dengan demikian, pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen menjadi terabaikan sebab lemahnya fungsi kontrol legislatif.
Berdasarkan hal tersebut, sistem ketatanegaraan yang perlu direformasi adalah mencakup bidang politik, ekonomi, dan hukum pada tataran sistem, serta reformasi bidang moral intelektual dan sosial budaya pada tataran karakter. Di bidang politik, perubahan itu berkenaan dengan penyempurnaan undang-undang pemilihan umum partai politik, susunan dan kedudukan anggota DPR, MPR,dan DPRD, serta kebebasan mengeluarkan pendapat. Di bidang ekonomi, diperlukan undang-undang anti monopoli, perlindungan konsumen, serta perbaikan terhadap undang-undang ketenagakerjaan[19]. Bidang hukum, diperlukan undang-undang tentang HAM dan bela negara. Sedangkan dalam tatanan karakter, perlu dibuat undang-undang etika pemerintahan dan menegakkan law enforcement . Selain itu, peran birokrasi juga harus dikembangkan kepada prinsip pelayanan yang cepat dan tepat, efisien, dan efektif.
Pemerintah juga dituntut untut untuk memprioritaskan pembenahan sistem yang menyangkut kelembagaan dan sistem pendukung lainnya. Fungsi birokrasi termasuk aparatur negara hendaknya bisa sebagai penyelesai masalah (a world of solution) I serta menghindarkan diri dari sumber masalah (source of problem)[20].
Istilah yang dikaitkan dengan birokrasi pemerintah yang bersih, kuat, dan berwibawa, terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan negara, pemerintahan, dan pembangunan, adalah efisien, yaitu mengedepankan kemampuan tinggi dalam mengoptimalkan pemanfaatan segala sumber dana yang tersedia, efektif, yaitu mengacu pada pencapaian sasaran yang telah ditentukan dengan perhitungan waktu yang tepat, bersih, yaitu sikap tingkah laku aparat yang dapat dipertanggungjawabkan,kuat, yaitu pemerintah yang memperoleh dukungan serta berakar pada rakyat, dan berwibawa, yaitu cekatan melaksanakan tugas melayani kepentingan umum.
Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan pemerintahan yang bersih, kuat, dan berwibawa adalah menyangkut cara atau hal urusan pemerintah menyelenggarakan sistem pemerintahan menurut konstitusi, hukum, dan etika; kelembagaannya tertata secara efisien dan saling mengawasi; mampu memberdayakan partisipasi masyarakat dan profesionalisme yang dijalankan melalui kepemimpinan demokratis yang berkapasitas tinggi